Sunday, June 22, 2014

Penyandang Disabilitas: Mereka Bukan Minoritas!





















Hi everyone!
Sejak postingan terakhir gue di blog ini, rasanya sudah lama sekali gue engga menulis.cHal ini disebabkan karena sejak bulan Februari kemarin hingga saat ini gue disibukkan dengan sebuah kegiatan penelitian yang mengharuskan gue untuk selalu dan tetap fokus dalam melakukannya. Kayaknya untuk membahas penelitian buat apa itu engga terlalu penting, cuma tema dari kegiatan itulah yang sangat menarik perhatian gue disini untuk dibahas.

DISABILITAS! Istilah ini memang masih asing dipendengaran sebagian orang, cuma kalau gue sebutkan "Orang Cacat", maka gue yakin kita semua pasti tahu. Ya! Penyandang Disabilitas adalah istilah baru sebagai pengganti kata orang cacat tersebut.

Apakah kita pernah berpikir tentang disabilitas disekitar kita? Apakah kita pernah menganggap keberadaan mereka? Bagaimana perasaan kita jika takdir menghendaki kita sebagai salah satu bagian dari kaum disabilitas?

Jawaban dari pertanyaan diatas dapat mencerminkan kepedulian kita terhadap permasalah disabilitas. Semakin kita dekat dan peduli dengan mereka, maka akan semakin baik.

Apa itu disabilitas? Menurut Undang-Undang No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat (Undang-Undang kita sendiri terbukti sudah salah dalam menggunakan istilah tersebut), penyandang disabilitas didefinisikan sebagai setiap orang yang memiliki kelainan fisik dan, atau mental, yang dapat menjadi gangguan atau rintangan dan hambatan baginya dalam melakukan kegiatannya sehari-hari baik secara individu maupun sebagai mahluk sosial.

Contoh disabilitas yang biasa kita temui sehari-hari adalah orang yang terlahir maupun karena suatu hal (Kecelakaan) tanpa penglihatan yang bagus (Tuna Netra), pendengaran yang bagus (Tuna Rungu), pembicaraan yang baik (Tuna Wicara), kesempurnaan anggota tubuh (Tuna Daksa) dan sebagainya. Disabilitas yang mengarah pada mental juga dapat kita lihat pada seseorang yang memiliki keterbelakangan mental.

Setelah genap enam bulan lamanya bergelut dengan dunia disabilitas dan penyandangnya, khususnya di kota Bandung, banyak hal yang gue dapatkan untuk dipelajari secara pribadi dari banyaknya fenomena disabilitas yang gue temukan langsung, baik dari penyandang disabilitas itu sendiri maupun dari lingkungan sekeliling mereka.

Masyarakat masih menggunakan kata orang cacat untuk mengistilahkan penyandang disabilitas. Kebanyakan masyarakat menggunakan istilah tersebut karena kebiasaan yang diwarisi secara turun temurun. Istilah penyandang cacat seringkali dimaknai secara negatif sehingga mempunyai dampak yang sangat luas bagi penyandang disabilitas itu sendiri terutama pada subtansi kebijakan publik yang sering memposisikan penyandang cacat sebagai obyek dan tidak menjadi prioritas. Selain itu, istilah penyandang cacat tidak sejalan dengan prinsip utama hak asasi manusia sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Oleh karenanya, istilah penyandang cacat diganti dengan istilah baru yang mengandung nilai filosofis yang lebih konstruktif dan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.

Istilah Penyandang Disabilitas mempunyai arti yang lebih luas dan mengandung nilai-nilai inklusif yang sesuai dengan jiwa dan semangat reformasi hukum di Indonesia. Hal itu juga sejalan dengan substansi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang kini telah diratifikasi oleh pemerintah. Penggunaan istilah “penyandang disabilitas” disepakati oleh para peserta yang hadir dalam forum  Penyusunan Bahan Ratifikasi Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Penyandang Cacat yang diselenggarakan di Bandung Maret-April 2010. Pada forum penyandang disabilitas yang dilaksanakan atas dukungan Kementerian Sosial tersebut, selain mereka merekomendasikan agar  pemerintah segera meratifikasi  konvensi CRPD dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, juga agar menggunakan istilah ”penyandang disabilitas” untuk menerjemahkan frase “persons with disabilities”.   Perbandingan kata dari penyandang disabilitas adalah ‘difabel’ yang berasal dari singkatan kata ‘different ability’ atau orang berkebutuhan khusus.

Merangkum itu semua, maka marilah kita membiasakan diri untuk menyebut mereka yang tidak memiliki kesempurnaan seperti kita dengan sebutan "Penyandang Disabilitas", bukan orang cacat. Bisa kan?

Menengok kehidupan penyandang disabilitas khususnya di kota Bandung selama enam bulan, banyak kejadian miris yang gue dapatkan. Hal ini justru banyak gue temukan terjadi pada penyandang disabilitas yang berasal dari keluarga tidak mampu atau berekonomi rendah.

Ada seorang penyandang disabilitas yang merasa minder dan sudah hampir 20 tahun lamanya mengurung diri dalam kamarnya. Sebagai seorang kepala keluarga, dia pun tidak bisa melakukan kewajibannya untuk menghidupi keluarga kecilnya. Dilain tempat, malah ada yang merasa baik-baik saja dengan kehidupannya meskipun tidak sempurna secara fisik. Masalah yang terjadi dari karakter penyandang disabilitas seperti ini justru berasal dari keluarganya sendiri yang merasa malu dengan keberadaan dia. Selain masalah psikologis, masalah sosial juga sangat banyak kita temukan dalam kehidupan mereka. Adanya diskriminasi kesempatan memperoleh pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing, kurangnya fasilitas umum untuk mereka dan adanya diskriminasi pendidikan adalah sebagian besar yang gue temukan dikehidupan mereka.

Disabilitas dan pandangan masyarakat adalah dua hal yang menurut gue saling berkaitan, tetapi berbeda. Masyarakat memiliki pandangan yang berbeda satu dengan yang lainnya terhadap disabilitas yang berada disekitar mereka. Umumnya masyarakat menganggap jika keberadaan penyandang disabilitas ini sebagai sesuatu yang merepotkan. Ada pula yang menganggap keberadaan mereka sebagai aib keluarga, biang masalah, hingga kutukan akan sebuah dosa yang pada akhirnya semakin memojokkan penyandang disabilitas dari pergaulan masyarakat.

Dalam perkembangan berikutnya, pandangan masyrakat terhadap penyandang disabilitas berubah menjadi sesuatu yang harus mereka kasihani dan mereka tolong. Hal ini dikarenakan mereka adalah sosok yang dianggap kurang mampu dan membutuhkan bantuan mengingat banyak penyandang disabilitas yang berasal dari kalangan ekonomi rendah. Secara garis besar, sikap dan pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas dapat dibedakan menjadi tidak berguna atau tidak bermanfaat, dikasihani, dididik atau dilatih, dan adanya persamaan hak. Hal inilah yang gue temukan saat melakukan riset dan penelitian.

Melalui tulisan ini, gue berharap semoga kita yang menjadi bagian dari masyrakat, bisa lebih menghargai hak-hak setiap individu penyandang disabilitas dan mendorong setiap dari mereka untuk bisa berkembang lebih baik. Mereka tidak membutuhkan rasa kasihan kita, tetapi dukungan dan saling menghargai demi kemajuan kehidupan mereka yang lebih baik tentunya akan sangat membantu mereka dalam menjalani kehidupan bersosial.

Bukankah setiap individu harus berprestasi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dan tidak harus disamakan dengan kemampuan orang lain, sehingga kehidupan harmonis pun dapat tercipta?
Selama enam bulan bersama-sama dengan penyandang disabilitas kota Bandung, gue pun semakin menyadari bahwa mereka ini bukanlah minoritas dalam kehidupan sosial kita. Ada yang indah dalam ketidaksempurnaan mereka. Mereka sama seperti kita. Memiliki rasa ingin menjadi lebih baik dalam kehidupan individu, maupun bagian dari kehidupan sosial.

There is ability in disability!

No comments:

Post a Comment