Friday, August 30, 2013

Nyinyir = Idealisme Berlebihan dan Budaya Permisif.


"Di dunia ini, barangkali tidak ada hal baik yang direspon dengan sempurna positif. Hal yang paling benar sekalipun, yang ditujukan untuk kemaslahatan umum, dan meski sudah dikuatkan dengan justifikasi yang bertanggungjawab, selalu menyisakan reaksi-reaksi negatif."

Jika kita sedang dalam kerumunan bersama teman–teman, terus ada orang lewat yang dengan sengaja memamerkan segala kelebihannya dari tampilan fisik juga yang melekat pada tubuhnya yang serba WOW itu –walaupun orang itu tidak merasa ingin diperhatikan dan terkadang manusia berpakaian dan berpenampilan sedemikian rupa hanya untuk merasa nyaman dan pede aja– apa yang terlintas dalam pikiran kita? Pasti kita nggak bisa menahan gerakan mulut kita untuk ngomongin si manusia yang barusan lewat itu. Gosip. Adalah hal biasa bagi setiap orang, khususnya pada wanita atau lelaki yang kewanita-wanitaan (Maybe). Tapi saking asyiknya ngegosip, ujung–ujungnya malah jadi pada nyinyir. Dan bumbu nyinyir itu enak banget rasanya. Bagaikan sayur tanpa garam, kalo gosip nggak dibumbui dengan nyinyir, akan berasa ada yang hambar kali ya. Wait! Enak? Yeah, enak buat yang nyinyir tapi engga buat mereka yang dijadikan objek nyinyir.

Kenapa sih orang banyak sekali yang nyinyir? Gini deh, kenapa sih orang Indonesia banyak banget yang senang ikut campur atau mengurusi urusan orang lain? Mungkin karena budaya di Indonesia ini cenderung berkelompok, berkoloni, sampai ada istilah untuk suku bangsa tertentu yang menyatakan, “Makan nggak makan, yang penting ngumpul”. Itulah, Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan, dan cenderung untuk memihak pada satu kelompok di mana ia berasal, sehingga rasa pembelaan terhadap kelompok itu sangat kuat. Senangnya ngumpul sambil membicarakan apa saja yang bisa dibicarakan. Dan jika ada suatu hal yang berbeda, yang lain daripada yang lain, yang tidak sama dengan apa yang ada di kelompoknya, maka itu akan menjadi hal yang mengusik perhatiannya dan menimbulkan anggapan tersendiri. Terus apa hubungannya dengan nyinyir?

Nyinyir atau sinis biasanya diutarakan dalam bentuk pernyataan atau perkataan terhadap suatu hal yang dirasa menarik perhatian. Mungkin ada kecenderungan si orang yang nyinyir tersebut iri kepada orang yang dia “nyinyiri”, merasa lebih dari orang lain, sehingga jika ada orang yang melebihi dirinya dalam segala hal apalagi jika orang yang bersangkutan itu tidak disangka– sangka bahwa dia punya kelebihan itu maka dia akan merasa tersaingi hingga menimbulkan rasa tidak suka, atau dalam kondisi yang lebih parah, dia memulai permusuhan dengan orang tersebut, baik melalui kata–kata yang bisa menjatuhkan mental, atau pun melalui gerakan tubuh juga tindak–tanduk yang jelas menunjukkan bahwa dia tidak suka. Dan nyinyir ini biasanya muncul saat seseorang yang bersangkutan itu mendapati sebuah kejadian atau suatu hal yang mengganggu perhatiannya alias “gengges” banget buat dia, hingga dia akan merasa puas jika sudah menyalurkan kata–kata nyinyirnya itu, baik melalui teman–temannya, atau social media. Ya! Penyakit bangsa Indonesia yang sedang booming saat ini adalah nyinyir lewat social media.

Coba perhatikan, jika kita termasuk yang aktif menggunakan jejaring Facebook dan Twitter bahkan Path, jejaring sosial yang cukup banyak digunakan oleh orang Indonesia. Kita sering menemukan status–status yang isinya marah–marah, menggerutu sama orang, nyindir orang, ataupun meledek sinis terhadap apa yang seseorang lakukan, bahkan kata–kata itu sangat lebih dari cukup untuk mewakili kebodohan–kebodohan yang dilakukan oleh orang–orang di sekitarnya. Bukan kah ini sebuah penyakit? Nyinyir berlebihan itu adalah penyakit hati!
 
Kita cukup banyak menyaksikan kesalahan dan kebodohan orang–orang di sekitar kita, kita punya pendapat tersendiri tentang segala hal, dan kita merasa orang lain kebanyakan salah. Pendapat kita lah yang lebih baik. Namanya juga manusia. Boleh saja punya anggapan demikian, asal pendapatnya masuk akal, disampaikan dengan maksud memberi teguran atau memperbaiki kesalahan seseorang, tapi alangkah bijaknya jika menyampaikan hal tersebut dengan kata–kata yang sopan agar tidak menyinggung pihak–pihak tertentu. Saya menulis tentang ini di blog, saya bisa dikatakan sebagai “orang yang punya pendapat sendiri tentang segala hal” itu, tapi setidaknya saya masih berobservasi dan berusaha menyusun kata–kata yang masih bisa dianggap sopan menurut saya. Bukannya sok bijak, tapi hidup ini kan bersosialisasi, dan tidak menutupkemungkinan bahwa suatu saat mereka yang kita nyinyirin itu lah yang akan membantu kita di saat susah atau lagi ada masalah. Hidup ini berputar kawan! Kadang diatas, kadang dibawah. Jangan terlalu sombong!

Entah apa yang menjadi alasan banyak orang menumpahkan kata–kata nyinyirnya lewat social media. Entah artis, pejabat, sutradara film, stand up comedian, doktor, professor, mahasiswa, pegawai kantoran, pelajar, bahkan kaum “underdog” pun masih bisa aja nyinyir. Ketidakpuasan, ketidaknyamanan, dan ketidakbersyukuran atas apa yang sudah dimiliki saat ini, merupakan alasan utama yang menghalalkan perilaku kenyinyiran sejauh yang saya amati. Tapi saya kurang tau, apakah dalam kehidupan nyata mereka selalu berkata nyinyir, ataukah hanya melampiaskannya lewat social media saja, khususnya Twitter. Yang saya tahu pasti, saya punya teman yang hobinya nyinyir blak–blakan right in front your face. Saya akui, cara pandang semacam ini bukan hal yang bagus untuk dibiasakan. Mungkin sudah bawaan manusia bahwa, ego untuk merasa lebih berharga dibanding yang strata sosialnya lebih rendah cenderung menguasai pola pikir yang sehat. Saya sendiripun tidak jarang terkuasai oleh ego dan ambisi itu. Itu memang tantangan bagi setiap orang yang berusaha, meski sedikit, untuk menyebarkan kebaikan dan hal positif, meski dalam taraf yang kecil.
 
Dalam pandangan saya, jika suatu idealisme hidup di tengah-tengah budaya permisif, maka idealisme akan cenderung dipandang negatif. Pola budaya permisif semacam ini, menurut saya, tidak boleh dilestarikan, atau malah dicarikan pembenaran. Bersosial pun ada hukumnya. Lain halnya jika kita hidup sendiri, atau mungkin memang ada seorang yang introvert dan anti sosial? Apa perlu saya bilang WOW terus koprol untuk pendapat seseorang yang lebih mirip kepada penghinaan?

Nyinyir, sayapun tak tahu persis apa kosa kata ini telah terdaftar secara resmi di KBBI atau belum. Tapi unik juga sih kalau mendengar kata ini, agak-agak lucu jika diucapkan, semacam ada rasa pedas bermakna keluhan bila mengaitkan kata ini untuk sebuah peristiwa atau kejadian yang menyebalkan.

Setelah saya cek di internet, ternyata nyinyir itu berarti mengulang-ulang perintah, atau dengan kata lain, cerewet. Sering kali kata ini saya dapatkan di internet, terutama twitter, kala seseorang dilihat cuma bisa ngomong doank, padahal kerja pun belum tentu bisa, kontribusi pun belum tentu ada. Dan mungkin fenomonena nyinyir sedang nge-trend sekarang ini, saat beberapa isu nasional maupun internasional sekalipun sedang asyik tuk di-nyinyir-in.
Semua hal di-nyinyir-in. Jabat tangan menteri komunikasi dengan ibu negara Amerika Serikat, nyinyir. Pedagang stasiun yang bersusah payah membela hak-haknya, nyinyir. Perda larangan berboncengan dengan duduk mengangkang, nyinyir. FPI yang menegakkan nahi mungkar, nyinyir. Bahkan berprasangka baik terhadap partai yang terkena kasus korupsi pun di-nyinyir-in, Gila.. sekedar berprasangka baik saja di-nyinyir-in. duh.

Nyinyir itu asyik, puas rasanya saat mengomentari seseorang yang terkenal bersih dan alim ternyata tersangkut kasus korupsi. Nyinyir itu sarana melampiaskan emosi, saat suatu hal berjalan tidak sesuai dengan kehendak dan pemikiran kita. Nyinyir itu mudah, cuma sekedar duduk santai mengeluh dan mengkritik segala hal yang tidak sesuai dengan pendapat kita, dimana disaat yang bersamaan orang-orang lain sibuk bekerja dan bertindak nyata. C'mon get a life and do something better!
Nyinyir itu budaya, karena sejak dulu leluhur kita memang terkenal sebagai seorang pujangga yang jago bersilat lidah. Sehingga banyak yang beralasan bahwa nyinyir adalah faktor keturunan. Benar juga sih, tapi saat nyinyir hanya bisa berdampak negatif, membuat orang emosi, dan memancing permusuhan, nyinyir tidak lebih dari aktivitas yang penuh kesia-siaan. Apalagi nyinyir-nya sudah sampai tingkatan ghibah, wah itu sudah masuk zona merah..
Mungkin karena nyinyir pula lah yang membuat Indonesia menduduki peringkat 5 besar pengguna Twitter terbanyak di dunia, apapun dikicaukan. Sehingga setidaknya ada yang bisa dibanggakan dari negeri ini walau sekedar nyinyir lewat Twitter-an. Bangga?

Ya,
Bangga kah kalian dengan budaya baru ini?


(Dirangkum dari http://anakaseliindonesia.wordpress.com dan http://tegarhamzah.blogspot.com.)