Wednesday, January 2, 2013

Resolusi Tahun Baru, Perlu?


Sepertinya sudah menjadi kebiasaan, ya? Tiap akan berganti tahun, banyak orang yang membuat resolusi, yang menurut Goenawan Mohamad di tweet-nya pagi ini padanan yang pas dalam Bahasa Indonesianya adalah tekad, kecuali untuk layar laptop atau televisi. Resolusi itu sendiri memang pas dipadankan dengan tekad, dengan resolusi seseorang yang menyatakan resolusi tersebut bertekad untuk melakukan ha-hal yang ditekadkannya.

Sejauh ingatan, setiap tahun akan berganti, saya tak pernah membuat resolusi. Semuanya seperti sebuah aliran sungai menuju muara, sesuatu yang mesti datang dan pergi, mengapa pula harus ditandai dengan resolusi. Namun demikian, tentu banyak dari anda yang membuat resolusi. Setidaknya menurut anda sekadar tekad adalah penting, pelaksanaannya itu soal yang lain.

Untuk itu saya akan mencoba berbagi dengan anda beberapa resolusi yang mungkin tidak perlu anda ucapkan atau tuliskan bahkan laksanakan. Tentunya resolusi ini bukan saya yang membuatnya. Teman maya saya yang sangat baik, Tom “MySpace” Anderson, memberikan beberapa hal tentang resolusi yang pada dasarnya merupakan elemen penting dalam kehidupan.

1. Speak Less, Reflect More
Betapa mudahnya berbicara, demikian yang sering saya dengar. Ada lagi yang mengatakan, “Lidah Tak Bertulang”.  Coba bayangkan kalau lidah bertulang, apa anda bisa berbicara? Demikianlah, saya sering lebih banyak suka omong, banyak omongan, ngomong ngalor-ngidul, membual dan banyak lagi. Mungkin karena sedemikian mudahnya berbicara, kadang hal yang tidak saya ketahui sering saya bicarakan sehingga  terperosok menjadi sok tahu, sok kenal segala segala sesuatu. Nah ini kesempatan bagi saya dan kita semua untuk berbicara lebih sedikit, dan meresapi hal-hal yang dibicarakan lebih banyak. Dengan makin banyak berefleksi, tentu kita bisa lebih memahami apa yang kita bicarakan. Refleksi penting bukan hanya mampu menunjukkan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan, namun tidak diketahui orang, tetapi juga menjadikan kita lebih wisdom.
2. Worry Less, Love More
Apa yang tidak kita khawatirkan di dunia ini? Gaji, uang di saku yang semakin menipis, kehidupan yang tidak beranjak ke arah yang lebih baik, pacar yang minta dinikahi, anak yang sakit, dan banyak lainnya. Bahkan mungkin kita khawatir di tahun depan kiamat benar-benar terjadi. Kita khawatir jika suatu saat kita tak mampu lagi melakukan apa-apa. Kita khawatir dipecat dari pekerjaan, kita khawatirkan apa saja, bahkan posisi  klasmen liga Inggris.
Worries aren’t serving anyone nor anything. Worries are expression of the Ego losing control.
Namun kita bisa menepis rasa khawatir itu. Kita bisa menepisnya dengan membawa sebanyak mungkin keyakinan akan kebaikan dari kehidupan ini. Berikan cinta yang lebih banyak sesudah itu kita bisa berharap kekhawatiran akan berkurang.
3. Hold Less, Express More
Memiliki banyak hal sangat penting. Memiliki pengetahuan yang banyak, kekayaan yang berlimpah merupakan elemen penting yang bisa membuat seseorang bahagia. Namun kadang permasalahannya tidak sesederhana itu. Ketika kekayaan sedemikian banyak diperoleh, serasa ada ruang kosng di dalam diri. Ketika ilmu pengetahuan begitu banyak didapat, serasa perlu untuk membaginya. Nah, mungkin baik bagi kita untuk memiliki lebih sedkit dan memberikan lebih banyak. Saya ingat, memberi itu lebih baik daripada menerima. Makin sedikit kita memiliki, sebenarnya makin banyak yang kita miliki sebagai ganti yang kita berikan. Kekayaan yang kita miliki jangan khawatir akan berkurang jika banyak kita ekspresikan kepada orang lain melalui berbagi. Ilmu pengetahuan yang dibagi akan menjadi pupuk bagi pohon kehidupan. Betapa sebenarnya kita tak pernah kekurangan satu apa pun dengan sedikit memiliki.
4. Judge Less, Forgive More
Kritik dan judment sering membuat kita luka. Dalam hal paling tak berdasar sekalipun kritik dan judment sebenarnyalah sebuah peringatan bagi kita. Anda, saya dan semua manusia tidak pernah terlepas dari kritik dan penghakiman orang lain. Kadang kita sedemikian gusarnya karena sering diberikan secara serampangan. Saya sering mengalami hal ini. Kadang saya sungguh emosi, kadang saya sedemikian marahnya, mengapa mereka hanya melakukan kritik, tetapi di sisi lain tidak mampu memberikan hal yang sama atau malah lebih baik dari apa yang saya berikan. Saya belajar, rasa marah, gusar, sakit hati karena kritik dan penghakiman lebih sering menyakiti diri sendiri. Untuk itu mungkin saya perlu memaafkan saja. Bukan untuk belajar rendah hati, namun semestinyalah demikian. Rasa marah hanya akan membakar diri sendiri. Ada baiknya saya memafkan saja dan mencoba melakukan refeksi dari apa yang orang lain katakan terhadap saya.
Forgiveness is the first medication that must be administered after self-awareness has brought clarity to the situation.
5. Do Less, Be More
Pernah menyisakan waktu untuk diri sendiri dalam beberapa tahun terakhir? Sering kita bekerja sedemikian giatnya. Tiada henti mengejar hal-hal di luar diri kita sendiri. Di tahun baru yang segera datang, mungkin kita perlu memandang lebih ke dalam. Melihat sisi-sisi lain diri sendiri, mematut-matut diri di kaca (bukan untuk menemukan betapa gagah atau cantiknya diri). Saya sendiri hampir tak ingat lagi kapan saya berbicara serius dengan diri saya sendiri dalam suatu waktu yang saya tentukan. Hampir sebagian besar kehidupan saya adalah tentang bagaimana saya terliaht di luar sana. Kadang saya malu dengan kenyataan saya tak pernah memikirkan bagaimana rupa saya dilihat oleh diri saya sendiri.

(diambil dari Catatan Kimi Raikko, http://lifestyle.kompasiana.com/)