"Di dunia ini, barangkali tidak ada hal baik yang
direspon dengan sempurna positif. Hal yang paling benar sekalipun, yang
ditujukan untuk kemaslahatan umum, dan meski sudah dikuatkan dengan
justifikasi yang bertanggungjawab, selalu menyisakan reaksi-reaksi
negatif."
Jika kita sedang dalam kerumunan bersama teman–teman, terus ada
orang lewat yang dengan sengaja memamerkan segala kelebihannya dari
tampilan fisik juga yang melekat pada tubuhnya yang serba WOW itu
–walaupun orang itu tidak merasa ingin diperhatikan dan terkadang
manusia berpakaian dan berpenampilan sedemikian rupa hanya untuk merasa
nyaman dan pede aja– apa yang terlintas dalam pikiran kita? Pasti kita
nggak bisa menahan gerakan mulut kita untuk ngomongin si manusia yang
barusan lewat itu. Gosip. Adalah hal biasa bagi setiap orang, khususnya pada wanita atau lelaki yang kewanita-wanitaan (Maybe). Tapi saking
asyiknya ngegosip, ujung–ujungnya malah jadi pada nyinyir. Dan bumbu
nyinyir itu enak banget rasanya. Bagaikan sayur tanpa garam, kalo gosip
nggak dibumbui dengan nyinyir, akan berasa ada yang hambar kali ya. Wait! Enak? Yeah, enak buat yang nyinyir tapi engga buat mereka yang dijadikan objek nyinyir.
Kenapa sih orang banyak sekali yang nyinyir? Gini deh, kenapa sih
orang Indonesia banyak banget yang senang ikut campur atau mengurusi
urusan orang lain? Mungkin karena budaya di Indonesia ini cenderung
berkelompok, berkoloni, sampai ada istilah untuk suku bangsa tertentu
yang menyatakan, “Makan nggak makan, yang penting ngumpul”. Itulah,
Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan, dan cenderung
untuk memihak pada satu kelompok di mana ia berasal, sehingga rasa
pembelaan terhadap kelompok itu sangat kuat. Senangnya ngumpul sambil
membicarakan apa saja yang bisa dibicarakan. Dan jika ada suatu hal yang
berbeda, yang lain daripada yang lain, yang tidak sama dengan apa yang
ada di kelompoknya, maka itu akan menjadi hal yang mengusik perhatiannya
dan menimbulkan anggapan tersendiri. Terus apa hubungannya dengan
nyinyir?
Nyinyir atau sinis biasanya diutarakan dalam bentuk pernyataan atau
perkataan terhadap suatu hal yang dirasa menarik perhatian. Mungkin ada
kecenderungan si orang yang nyinyir tersebut iri kepada orang yang dia
“nyinyiri”, merasa lebih dari orang lain, sehingga jika ada orang yang
melebihi dirinya dalam segala hal apalagi jika orang yang bersangkutan
itu tidak disangka– sangka bahwa dia punya kelebihan itu maka dia akan
merasa tersaingi hingga menimbulkan rasa tidak suka, atau dalam kondisi
yang lebih parah, dia memulai permusuhan dengan orang tersebut, baik
melalui kata–kata yang bisa menjatuhkan mental, atau pun melalui
gerakan tubuh juga tindak–tanduk yang jelas menunjukkan bahwa dia
tidak suka. Dan nyinyir ini biasanya muncul saat seseorang yang bersangkutan itu
mendapati sebuah kejadian atau suatu hal yang mengganggu perhatiannya
alias “gengges” banget buat dia, hingga dia akan merasa puas jika sudah
menyalurkan kata–kata nyinyirnya itu, baik melalui teman–temannya,
atau social media. Ya! Penyakit bangsa Indonesia yang sedang
booming saat ini adalah nyinyir lewat social media.
Coba perhatikan, jika kita termasuk yang aktif menggunakan jejaring
Facebook dan Twitter bahkan Path, jejaring sosial yang cukup banyak digunakan oleh
orang Indonesia. Kita sering menemukan status–status yang isinya marah–marah, menggerutu sama orang, nyindir orang, ataupun meledek sinis
terhadap apa yang seseorang lakukan, bahkan kata–kata itu sangat
lebih dari cukup untuk mewakili kebodohan–kebodohan yang dilakukan
oleh orang–orang di sekitarnya. Bukan kah ini sebuah penyakit? Nyinyir berlebihan itu adalah penyakit hati!
Kita cukup banyak menyaksikan kesalahan dan kebodohan orang–orang
di sekitar kita, kita punya pendapat tersendiri tentang segala hal, dan
kita merasa orang lain kebanyakan salah. Pendapat kita lah yang lebih
baik. Namanya juga manusia. Boleh saja punya anggapan demikian, asal
pendapatnya masuk akal, disampaikan dengan maksud memberi teguran atau
memperbaiki kesalahan seseorang, tapi alangkah bijaknya jika
menyampaikan hal tersebut dengan kata–kata yang sopan agar tidak
menyinggung pihak–pihak tertentu. Saya menulis tentang ini di blog,
saya bisa dikatakan sebagai “orang yang punya pendapat sendiri tentang
segala hal” itu, tapi setidaknya saya masih berobservasi dan berusaha
menyusun kata–kata yang masih bisa dianggap sopan menurut saya. Bukannya sok bijak, tapi hidup ini kan bersosialisasi, dan tidak menutupkemungkinan bahwa suatu saat mereka yang kita nyinyirin itu lah yang akan membantu kita di saat susah atau lagi ada masalah. Hidup ini berputar kawan! Kadang diatas, kadang dibawah. Jangan terlalu sombong!
Entah apa yang menjadi alasan banyak orang menumpahkan kata–kata
nyinyirnya lewat social media. Entah artis, pejabat, sutradara film,
stand up comedian, doktor, professor, mahasiswa, pegawai kantoran,
pelajar, bahkan kaum “underdog” pun masih bisa aja nyinyir.
Ketidakpuasan, ketidaknyamanan, dan ketidakbersyukuran atas apa yang
sudah dimiliki saat ini, merupakan alasan utama yang menghalalkan
perilaku kenyinyiran sejauh yang saya amati. Tapi saya kurang tau,
apakah dalam kehidupan nyata mereka selalu berkata nyinyir, ataukah
hanya melampiaskannya lewat social media saja, khususnya Twitter. Yang
saya tahu pasti, saya punya teman yang hobinya nyinyir blak–blakan
right in front your face. Saya akui, cara pandang semacam ini bukan hal yang bagus untuk dibiasakan. Mungkin sudah bawaan manusia bahwa, ego untuk merasa
lebih berharga dibanding yang strata sosialnya lebih rendah cenderung
menguasai pola pikir yang sehat. Saya sendiripun tidak jarang terkuasai
oleh ego dan ambisi itu. Itu memang tantangan bagi setiap orang yang berusaha,
meski sedikit, untuk menyebarkan kebaikan dan hal positif, meski dalam
taraf yang kecil.
Dalam pandangan saya, jika suatu idealisme hidup di tengah-tengah budaya permisif, maka idealisme akan cenderung dipandang negatif. Pola budaya permisif semacam ini, menurut saya, tidak boleh dilestarikan, atau malah dicarikan pembenaran. Bersosial pun ada hukumnya. Lain halnya jika kita hidup sendiri, atau mungkin memang ada seorang yang introvert dan anti sosial? Apa perlu saya bilang WOW terus koprol untuk pendapat seseorang yang lebih
mirip kepada penghinaan?
Nyinyir, sayapun tak tahu persis apa kosa kata ini telah terdaftar secara resmi di KBBI atau belum. Tapi unik juga sih
kalau mendengar kata ini, agak-agak lucu jika diucapkan, semacam ada
rasa pedas bermakna keluhan bila mengaitkan kata ini untuk sebuah
peristiwa atau kejadian yang menyebalkan.
Setelah saya cek di internet, ternyata nyinyir itu berarti
mengulang-ulang perintah, atau dengan kata lain, cerewet. Sering kali
kata ini saya dapatkan di internet, terutama twitter, kala seseorang
dilihat cuma bisa ngomong doank, padahal kerja pun belum tentu bisa, kontribusi pun belum tentu ada. Dan mungkin fenomonena nyinyir sedang nge-trend sekarang ini, saat beberapa isu nasional maupun internasional sekalipun sedang asyik tuk di-nyinyir-in.
Semua hal di-nyinyir-in. Jabat tangan menteri komunikasi dengan ibu negara Amerika Serikat, nyinyir. Pedagang stasiun yang bersusah payah membela hak-haknya, nyinyir. Perda larangan berboncengan dengan duduk mengangkang, nyinyir. FPI yang menegakkan nahi mungkar, nyinyir. Bahkan berprasangka baik terhadap partai yang terkena kasus korupsi pun di-nyinyir-in, Gila.. sekedar berprasangka baik saja di-nyinyir-in. duh.
Nyinyir itu asyik, puas rasanya saat mengomentari seseorang yang terkenal bersih dan alim ternyata tersangkut kasus korupsi. Nyinyir itu sarana melampiaskan emosi, saat suatu hal berjalan tidak sesuai dengan kehendak dan pemikiran kita. Nyinyir itu mudah, cuma sekedar duduk santai mengeluh dan mengkritik segala hal yang tidak sesuai dengan pendapat kita, dimana disaat yang bersamaan orang-orang lain sibuk bekerja dan bertindak nyata. C'mon get a life and do something better!
Nyinyir itu budaya, karena sejak dulu leluhur kita memang terkenal sebagai seorang pujangga yang jago bersilat lidah. Sehingga banyak yang beralasan bahwa nyinyir adalah faktor keturunan. Benar juga sih, tapi saat nyinyir hanya bisa berdampak negatif, membuat orang emosi, dan memancing permusuhan, nyinyir tidak lebih dari aktivitas yang penuh kesia-siaan. Apalagi nyinyir-nya sudah sampai tingkatan ghibah, wah itu sudah masuk zona merah..
Mungkin karena nyinyir pula lah yang membuat Indonesia menduduki peringkat 5 besar pengguna Twitter terbanyak di dunia, apapun dikicaukan. Sehingga setidaknya ada yang bisa dibanggakan dari negeri ini walau sekedar nyinyir lewat Twitter-an. Bangga?
Semua hal di-nyinyir-in. Jabat tangan menteri komunikasi dengan ibu negara Amerika Serikat, nyinyir. Pedagang stasiun yang bersusah payah membela hak-haknya, nyinyir. Perda larangan berboncengan dengan duduk mengangkang, nyinyir. FPI yang menegakkan nahi mungkar, nyinyir. Bahkan berprasangka baik terhadap partai yang terkena kasus korupsi pun di-nyinyir-in, Gila.. sekedar berprasangka baik saja di-nyinyir-in. duh.
Nyinyir itu asyik, puas rasanya saat mengomentari seseorang yang terkenal bersih dan alim ternyata tersangkut kasus korupsi. Nyinyir itu sarana melampiaskan emosi, saat suatu hal berjalan tidak sesuai dengan kehendak dan pemikiran kita. Nyinyir itu mudah, cuma sekedar duduk santai mengeluh dan mengkritik segala hal yang tidak sesuai dengan pendapat kita, dimana disaat yang bersamaan orang-orang lain sibuk bekerja dan bertindak nyata. C'mon get a life and do something better!
Nyinyir itu budaya, karena sejak dulu leluhur kita memang terkenal sebagai seorang pujangga yang jago bersilat lidah. Sehingga banyak yang beralasan bahwa nyinyir adalah faktor keturunan. Benar juga sih, tapi saat nyinyir hanya bisa berdampak negatif, membuat orang emosi, dan memancing permusuhan, nyinyir tidak lebih dari aktivitas yang penuh kesia-siaan. Apalagi nyinyir-nya sudah sampai tingkatan ghibah, wah itu sudah masuk zona merah..
Mungkin karena nyinyir pula lah yang membuat Indonesia menduduki peringkat 5 besar pengguna Twitter terbanyak di dunia, apapun dikicaukan. Sehingga setidaknya ada yang bisa dibanggakan dari negeri ini walau sekedar nyinyir lewat Twitter-an. Bangga?
Ya,
Bangga kah kalian dengan budaya baru ini?
(Dirangkum dari http://anakaseliindonesia.wordpress.com dan http://tegarhamzah.blogspot.com.)
No comments:
Post a Comment