"Children aren't happy with nothing to ignore, and that's what parents were created for." (Ogden Nash)
Apa yang terjadi saat elo mendengar bahwa ayah/ibu kalian ingin menikah kembali setelah kehilangan pasangan mereka (meninggal)? Kaget, kecewa, sedih bahkan marah bisa saja muncul dalam diri kita saat itu. Yang pasti diawal mendengar itu semua, gue sangat yakin kalau ada penolakan yang entah bisa kita ekspresikan langsung maupun hanya bisa kita simpan di dalam hati saja begitu mendengar keputusan orangtua kita tersebut.
Disinilah kita sebagai anak harus dengan bijak dan penuh kasih sayang
mengingatkan orang tua agar berhati-hati dalam memilih pasangan hidup,
sebab jika keliru memilih masa tua yang seharusnya akan dilewati dalam
ketenangan dan ketentraman malah bisa berubah menjadi kawah yang mendidih dan mengerikan baginya.
Bahkan Ada kalanya keputusan untuk menikah kembali ini kadang tidak
dapat diterima keluarga namun sering juga keputusan ini justru
menimbulkan akibat yang tidak mengenakkan keluarga (anak-anak dan cucu)
dan bahkan dapat mengguncangkan keutuhan keluarga. Kedewasaan dalam menyikapi hal ini nantinya akan meningkatkan kualitas diri dan membuahkan keberkahan untuk semua orang yang ada didalam keluarga.
Menikah lagi memang hak orangtua. Apalagi jika memang salah satu di
antara mereka telah wafat atau sudah tidak bisa menjalankan
kewajibannya. Namun, pernikahan tentu tak hanya melibatkan mereka yang
akan menikah. Ada anak-anak yang tak bisa diabaikan hak dan perasaannya,
juga ada keluarga besar yang selama ini menaungi ikatan pernikahan. Ini tentu merupakan hal yang harus dipertimbangkan oleh orangtua yang memutuskan menikah lagi.
Di sinilah dibutuhkan kedewasaan antara orangtua yang hendak menikah
kembali, anak –apabila dia telah mencapai usia dewasa, dan pihak keluarga
besar.
Kedewasaan orangtua yang hendak menikah kembali tentu merupakan hal yang terpenting dalam hal ini. Tentu tidak ada larangan bagi orangtua yang hendak menikah lagi pasca
perpisahan dengan pasangannya. Akan tetapi, hal yang sangat perlu
diperhatikan adalah kondisi anak yang akan menerima pasangannya sebagai
orang dengan titel orangtua tiri.
Karena itu, sangat penting untuk juga memperhatikan pendapat anak
tentang kriteria calon pendamping yang akan dipilihnya. Jangan sampai
apa yang diharapkan menjadi kebaikan bagi pihak orangtua justru adalah
mimpi buruk bagi anak. Di sisi lain, kedewasaan anak –apabila dia telah memasuki usia dewasa,
pun sangat diperlukan. Bila memang orangtua telah menunjukkan komitmen
untuk menikah lagi demi menjaga kehormatan dan kebaikan bersama, maka
tidak ada alasan bagi anak untuk menghalangi niatan orangtua menikah
kembali.
Satu hal lagi yang tak kalah penting adalah kedewasaan pihak keluarga
besar dalam menyikapi keinginan anggota keluarga untuk menikah lagi.
Salah satunya adalah menjadi penengah antara orangtua yang akan menikah
kembali dengan anaknya. Hal ini sangat membutuhkan kedewasaan dan
kelapangan hati yang luar biasa, karena keluarga besar dalam hal ini tak
boleh berpihak pada salah satu pihak dengan tendensi apa pun.
Selain itu, keluarga besar juga diharapkan mampu menjadi tempat yang
paling nyaman, terutama bagi anak ketika berada dalam masa adaptasi
dengan orangtua tirinya. Anak juga diharapkan mendapatkan
masukan-masukan positif dari pihak keluarga, sehingga dia akan cepat
berlapang dada sekaligus menyesuaikan diri dengan kondisi baru
orangtuanya.
Namun demikian, orangtua yang akan menikah kembali, tentu harus
memiliki persiapan yang lebih untuk menjemput kehidupan baru yang akan
mengubah perjalanan diri dan keluarganya tersebut.
Siapapun yang memutuskan untuk menikah kembali tentu memiliki harapan
untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dibandingkan dalam
pernikahannya terdahulu. Harapan ini tentu harus dibarengi dengan
kualitas diri yang lebih baik dibandingkan dengan kualitas diri di
pernikahan sebelumnya. Orangtua harus memiliki kematangan emosi yang
lebih baik dan kepribadian yang lebih dewasa, disamping kemampuan
finansial yang lebih kuat. Hal ini penting karena kualitas dan kuantitas
masalah yang akan dihadapi pun akan lebih kompleks dibandingkan pada
pernikahan pertama.
Akan tetapi, orangtua harus optimis bahwa kondisi ini tetap dapat
terjalani dengan baik. Salah satunya dengan berempati pada apa yang
dirasakan oleh anak serta berusaha memahami sudut pandang anak dalam
menyikapi pernikahannya. Berbekal empati, orangtua tidak akan cepat
berburuk sangka pada anak maupun keluarga besar. Sehingga ketika anak
merespon pernikahannya dengan sikap yang buruk sekalipun, orangtua tetap
dapat membuka dialog dengan anak dan siap menerima alasan yang
mendasari sikap anak.
Setiap orang tentu berhak memilih respon seperti apa yang diambilnya
dalam menyelesaikan masalah. Namun, kecerdasan orangtua dalam mengelola
emosi sekaligus tindakan apa yang akan diambilnya, bukan mustahil akan
membuat anak juga akan belajar memahami keputusan orangtuanya dan
membuka hati melihat kebaikan yang terkandung di dalamnya.
Satu hal yang terpenting, orangtua pun harus menunjukkan pada anak
dan keluarga besar tentang tujuan pernikahan yang dilakukannya. Bila
keputusan untuk menikah lagi didasari oleh tujuan-tujuan mulia di jalan Tuhan, maka orangtua harus berusaha menunjukkan kepada anak bahwa
segala kondisi yang terjadi saat ini, semata adalah sarana mencapai
tujuan tersebut. Berteguh-hatilah dalam proses pembuktian tujuan ini
karena sedikit saja orangtua mengambil sikap yang tak semestinya, maka
anak akan menganggap keputusan menikah lagi, tak lain hanya untuk
kepentingan pribadi saja.
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan oleh anak saat Orang Tua kita Mau menikah lagi?
Setelah kita sebagai anak mengamati serta mengopservasi dengan cinta kasih dan ketulusan hati tentang hubungan orang tua kita dengan calon pasangan hidupnya maka cobalah tanyakan pertanyaan-pertanyaan kepada diri kita sendiri, ataupun kepada Orang tua kita pertanyaan-pertanyaan seperti ini:
- Apakah motivasi pasangannya itu menikah dengan orangtua kita? Perlu kita sadari dan orang tua kita sadari bahwa ada sebagian orang yang sengaja menjebak orang untuk menikah dengannya karena motivasi atau alasan-alasan: ekonomi, financial yang mendesak, alasan kebutuhan seksual saja, alasan kesepian, alasan kebutuhan akan seseorang yang dapat mengurus rumah saja, atau alasan keliru lainnya. Alasan-alasan seperti itu boleh boleh saja ada tetapi tidak boleh menjadi alasan tunggal mengapa orangtua mau menikah. Tugas kita sebagai anak harus bisa semaksimal mungkin memastikan bahwa calon yang dipilih orang tua kita adalah benar-benar orang yang sungguh-sungguh mengasihi orangtua kita hingga akhir hanyatnya.
- Yang kedua Apakah orangtua kita dan pasangan yang dipilihnya benar-benar siap untuk menghabiskan masa tua bersama, dimana masa itu adalah masa yang penuh dengan keterbatasan fisik, masa dimana makin tua makin banyak kemungkinan sakit penyakit, pertanyaan kita adalah apakah mereka siap bukan untuk bersenang-senang tetapi untuk saling merawat dan memberi dukungan diusia senja?
- Perlu kita sadari ada orang yang ingin menikah dengan orang tua kita dengan tujuan untuk bersuka-suka seperti orang muda, dia lupa bahwa dalam jangka waktu yang singkat orang tua akan mengalami penurunan kondisi fisik dan berakibat pada penurunan kesehatan yang drastis. Maka kita sebagai anak harus pastikan apakah keduanya siap untuk hidup dalam segala keterbatasan itu?
- Apakah orangtua kita telah memilih pasangan hidup yang sunguh-sungguh tepat baginya? Apakah usianya tidak jauh berbeda, apakah mereka telah melewati masa berkenalan yang cukup dan tidak terburu-buru? Dan Apakah dia pasangan yang benar-benar beriman dan seiman?
- Apakah pasangannya (yaitu calon orang tua kita) itu dapat menerima kita yaitu anak cucu dan saudara sebagai bagian dari keluarganya? Atau Apakah justru sebaliknya, dimana dia berusaha memisahkan kita dari orangtua kita yang kita cintai?
Terakhir, yakinlah bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang didapat tanpa perjuangan dan kesabaran.
Memang sulit rasanya disaat orang tua kita yang notabene duda/janda mau menikah lagi. Apalagi latar belakang perpisahan/ditinggalkan dari pasangan hidup itu dalam kematian dan belum genap dalam hitungan tahun akan kematian itu, tentunya sebagai orang yang punya nalar akan kaget sekaligus marah, gusar dan perasaan lain campur tak karuan. Itulah yang terjadi dalam diri gue sekarang ini.. Terlebih didukung dengan adanya kenyataan bahwa perempuan yang akan dinikahi itu masih belum jelas keberadaan dirinya untuk nantinya bisa dijadikan sebagai panutan oleh gue dan kakak-kakak.
ah, entahlah.. kita lihat saja apa yang akan terjadi nanti.
bersambung..
tulisan yg penuh dgn kebijakan dan saran yang netral, menarik ndra!!! tumbs up
ReplyDeleteThanks, dims.. :)
ReplyDeleteCritanya sama sperti ceritaku saat ini.. Blm ada 100 hari ibuku meninggal, ayahku berniat menikah lagi.. Bahkan, stelah 40 hari kepergian ibuku, ayahku sudah membicarakan tentang pacarnya itu.. Aku, kakak dan adekku bukannya tidak setuju, tp smua ini terlalu cepat.. Kami ditinggal ibu untuk slama lamanya karena kanker payudara yg menjalar sampai kenliver.. Kami ikhlas, tp kami masih terpukul dg kepergian ibu kami.. Terlebih, kami tidak tau siapa dan bagaimana calon ibu tiri kami.. Kami tidak diberi kesempatan untuk mengenal siapa dan apa serta bagaimana calon ibu tiri kami.. Entahlah, skarang kami menyerahkan smuanya kpd Tuhan, dan terserah ayahku mau gimana.. Bukannya kami lelah, tp kami sudah berkali kali bicara, tp hasilnya nihil.. Ayah lbh membela calonnya......
ReplyDeletesama, kejadian yg anda alami sama dg saya. ayah tidak mau diajak bicara, selalu emosi, dan membela calonnya. membaca cerita anda membuat saya merasa tidak sendiri.
Deletesama banget kayak yang di alamin aku sekarang, papa sembunyi sembunyi ngenalin calon intri barunya ke keluarga besar dan bilang itu yang terbaik, setelah aku coba cari tau sendiri terlihat sekali ada sesuatu kenapa dia mendekati papa,, tapi sampai hari ini papa ga bilang, dan entah kenapa yang aku takutin adalah papa nikah diem diem tampa bilang aku sama adik aku,,, sakit bgt rasanya tau papa punya wanita lain,, udah ga tau harus mengekspresikan semuanya kayak gimana, untung nemu tulisan ini..
Deletememang sungguh sakit rasax
ReplyDelete