"Ada seorang teman Gue yang bercerita tentang salah seorang teman kosannya yang begitu iri dan merasa ‘panas’ saat melihat salah satu teman kosan mereka yang membeli sebuah televisi bermerek yang sudah tidak asing di pendengaran kita. Sebulan kemudian, Teman yang sama itu kembali membeli sebuah laptop dengan merek terkenal dan teman yang merasa ‘panas' tadi bertambah semakin panas. Dua minggu sesudahnya, Terlihat sebuah mobil mewah yang nongkrong di teras kamar teman mereka yang sama itu, Maka teman yang ‘panas’ itu pun tidak dapat membendung rasa sewot-nya. Ia lantas berbicara keras dengan sengaja menyindir dan membuat fitnah atas kemakmuran teman kosan mereka tersebut. Sampai akhirnya terjadi keributan di dalam lingkungan kosan dan nyaris terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, Jika saja tidak diingatkan oleh petugas keamanan di sana".
Kamu boleh percaya ataupun tidak pada kebenaran cerita di atas, karena kita memang punya kebebasan untuk memilih dan berpihak. Tetapi, cerita tersebut setidaknya mengingatkan kita akan adanya persaingan gengsi untuk memperoleh suatu opini dan kedudukan di masyarakat.
Pengaruh iklan di berbagai sub bidang media, tampaknya telah berpengaruh besar terhadap pola pikir masyarakat. Masyarakat, yang dalam hal ini terposisikan sebagai konsumen, tidak hanya memfokuskan diri pada suatu hal yang benar-benar mereka butuhkan, melainkan lebih tergiur untuk mencoba hal-hal baru yang sebetulnya tidak memiliki arti dan posisi penting dalam kebutuhan hidupnya.
Iklan kini lebih beragam dan berkembang. Dimulai dari hanya sebaris kata pada awalnya, sampai yang futuristik ke tingkat multimedia. Iklan juga merambah ke hampir segala ruang dan level di dalam masyarakat. Kita tentu sering melihat billboard-bilboard besar di persimpangan jalan maupun yang ‘menempel’ pada sisi gedung-gedung tinggi. Keberadaannya cukup eye catching dan mau tidak mau kita terperangkap dalam imaji dan kata-kata yang terpampang, selanjutnya mata kita merespon ke otak dan merekam memori yang setiap saat bisa muncul ke permukaan jika kita mengacu pada suatu kepentingan produk.
Produsen mobil BMW pernah memakai kata “You Are What You Drive”, dalam suatu kesempatan dalam menawarkan produknya. Entah kenapa, kita selalu dikondisikan dan dibuat untuk menghargai wujud secara fisik. Seseorang yang memakai kaos oblong dan sandal jepit, tentu akan mendapat pengakuan dan tanggapan yang berbeda dengan seseorang yang memakai setelan jas, lengkap dengan dasi dan sepatu kulit. Jadi, jelaslah bahwa penampilan luar dan tetek bengek yang melengkapi kita, menjadi rujukan untuk mengetahui ‘identitas’ kita.
Masih ingat kasus selebritis Hollywood, Winona Ryder, yang membuat kening hakim berkerut? Aktris cantik tersebut dihadapkan di depan meja persidangan lantaran pada tanggal 6 Desember 2002 lalu, mencuri sejumlah pakaian dari sebuah toko yang bernama Saks Fifth Avenue, Baverly Hills. Ia dikenai denda serta ganti rugi tinggi atas barang-barang tersebut, yang terdiri dari berbagai merek busana terkenal skala internasional. Hal ini menunjukkan bahwa keinginan untuk menaikkan gengsi tidak hanya menjamur di kalangan menengah kebawah, melainkan juga mereka yang sudah berada di atas.
Masih ingat kasus selebritis Hollywood, Winona Ryder, yang membuat kening hakim berkerut? Aktris cantik tersebut dihadapkan di depan meja persidangan lantaran pada tanggal 6 Desember 2002 lalu, mencuri sejumlah pakaian dari sebuah toko yang bernama Saks Fifth Avenue, Baverly Hills. Ia dikenai denda serta ganti rugi tinggi atas barang-barang tersebut, yang terdiri dari berbagai merek busana terkenal skala internasional. Hal ini menunjukkan bahwa keinginan untuk menaikkan gengsi tidak hanya menjamur di kalangan menengah kebawah, melainkan juga mereka yang sudah berada di atas.
Kecenderungan konsumen terhadap suatu merek tertentu tampaknya juga menjadi salah satu cemeti untuk membangkitkan rasa gengsi-nya. Aktris sekelas Winona Ryder mungkin tidak akan terpengaruh jika hanya melihat merek-merek lokal biasa, tetapi ia sangat tergoda melihat label Versace, Gucci, maupun Donna Karan. Di Indonesia sendiri, beberapa merek bahkan sudah menjadi icon dan trademark dalam menunjuk suatu barang. Orang akan lebih sering menyebut Sasa untuk menyebut vetsin, Pepsodent untuk menyebut pasta gigi, Indomie untuk menyebut mie instan, dan masih banyak lagi merek-merek pionir yang justru menjelma menjadi produk itu sendiri. Fenomena ini sangat menguntungkan produsen, karena tidak perlu lagi repot-repot meng-iklankan produknya. Merek, ternyata lebih dari sekedar nama yang menempel pada kemasannya, tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai sebuah jaminan kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan oleh semua pihak, baik produsen sebagai pembuat barang, maupun konsumen sebagai penentu pilihan. Pemilihan Key Selling Point atau kunci daya jual, juga merupakan salah satu alat ‘perang’ utama untuk masuk ke medan bisnis. Suatu produk harus mempunyai suatu ciri khas dan keunikan tertentu yang membedakan produk tersebut dengan produk sejenis lainnya.
Beberapa merek yang beridentifikasi sebagai produk mahal, tentu akan mempunyai nilai lebih dan sense yang berbeda pada orang yang memilikinya. Seseorang dengan mobil Jaguar akan memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi dibanding dengan pemilik mobil yang umum dan biasa yang harganya tentu jauh lebih murah. Semua hal tersebut memang tidak bisa kita salahkan sepenuhnya, karena kita memang di setting dan di formulasikan untuk menjadi seperti itu secara tidak sadar dalam diri kita sendiri.
Sekarang masalahnya adalah satu. Kita mampu atau tidak menjadi sebuah pribadi yang memiliki prinsip dengan seluruh rayuan dan iming-iming bertajuk gengsi tersebut? Semuanya adalah pilihan.
Sekarang masalahnya adalah satu. Kita mampu atau tidak menjadi sebuah pribadi yang memiliki prinsip dengan seluruh rayuan dan iming-iming bertajuk gengsi tersebut? Semuanya adalah pilihan.
Pilihan untuk konsisten atau mengikuti tren, pilihan untuk hemat atau boros, dan pilihan untuk menjadi manusia atau menjadi bebek, yang cuma menjadi pengekor tanpa tahu jelas tujuan akhirnya.
Deal?